Jumat, 04 November 2011

Dinasty Safawiyah

DINASTI SAFAWIYAH DI PERSIA(1501-1732)
BAB I
PENDAHULUAN
Wilayah Persia (Iran) adalah merupakan daerah yang memiliki tingkat peradaban begitu tinggi, bahkan sebelum datangnya agama Islam. Pada perkembangan selanjutnya setelah kedatangan Islam di Persia terdapat beberapa dinasti Wilayah Persia (Iran) adalah merupakan daerah yang memiliki tingkat peradaban begitu tinggi, bahkan sebelum datangnya agama Islam. kecil yang berkuasa diantaranya Baduspaniyah, Bawandiyah, Musafiriyah, Rawandiyah, Syaddadiyah, Thahiriyah, Samaniyah, Buwaihiyah, saljuk, timuriyah dan seterusnya. Setelah runtuhnya dinasti Timuriyah, Dinasti Syafawi berdiri, yang pada perkembangannya melakukan perubahan yang luar biasa berkaitan dengan Negara dan agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Asal-Usul Dinasti Syafawi
Dinasti Syafawi merupakan sebuah dinasti yang berkuasa di Persia sejak 907-1145/1501-1732.[1] Kerajaan Syafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Syafawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Syafawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Syafawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.[2]
Safiuddin berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia adalah keturunan Musa al-Kazim (Imam ke tujuh Syi’ah Dua Belas), yang berarti keturunan Rasulullah SAW dari Fatimah. [3] Gurunya yang bernama Syeikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1215-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunan Syafiuddin dalam kehidupan tasawuf, ia diambil menantu oleh gurunya. Kemudian dia sendiri mendirikan tarekat Syafawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Para pengikut tarekat ini sangat fanatik dan berpegang teguh ajaran agama. Sehingga pada perjalanan masa berikutnya, para pengikut ini merupakan kekuatan yang sangat potensial ketika tarekat Syafawiyah memasuki dunia politik pada masa pemerintahan Juneid (1447-1460 M).[4]

B.   Para Penguasa dan Perkembangan Peradaban Dinasti Syafawi
Demikian halnya dengan gerakan tarekat Syafawiyah. Setelah berhasil menyebarkan pengaruhnya di berbagai wilayah, mereka mulai mengatur kekuasaan. Kecenderungan untuk memasuki dunia politik mulai tampak wujud  konkritnya pada waktu gerakan tarekat tersebut di pimpin oleh juneid (1447-1460).[5] Propaganda yang gencar dilakukan oleh para penerusnya dalam upaya mengembangkan kekuasaan di sekitar Anatolia, yang pada masa itu di bawah kekuasaan Qara Qanyulu dan Aq Qanyulu, dua diantara suku kuat Turki. Pada tahun 1501 Isma’il Ibnu Haidar (kemudian disebut Isma’il I)  berhasil merebut Azerbaijan.[6]Isma’il I inilah yang kemudian dianggap sebagai penguasa pertama dinasti syafawiyah. Ia memerintah selama 23 tahun (1501-1524). Pada sepuluh tahun pertama masa pemerintahannya, ia berhasil mengembangkan sayap kekuasaannya hingga meliputi seluruh Persia. [7]
Kepemimpinan gerakan syafawi ketika berada di bawah Isma’il dalam segi militer mengalami kemajuan. Ia menjadikan Gilan sebagai pusat kegiatan. Ia mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu disebut Qizilbash (pasukan baret merah). Pada tahun 1501 M ia dengan pasukan baret merahnya mengadakan serangan terhadap Aq qanyulu di Sharur dekat Nakhchivan. Kemudian ia meneruskan penaklukannya ke Tabriz dan dapat menduduki ibu kota aq Qanyulu. Di kota inilah Isma’il memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama kerajaan Syafawi. Sepeninggal isma’il I, kekuasaan kerajaan syafawi menjadi lemah. Ini disebabkan karena Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1578 M) adalah penguasa yang lemah. Mereka tak mampu bersaing dengan kekuatan militer dan kekuasaan Turki Usmani. Kondisi memprihatinkan ini baru teratasi pada masa Abbas I, raja kelima dari kerajaan syafawi, abbas I ini memerintah dari tahun 1588-1628 M. Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Syafawi. Secara politis ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya. [8]
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan syafawi ialah  konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani, dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Syafawi, pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash, dan seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.[9]
Kemajuan yang dicapai kerajaan Syafawi yaitu:
1.      Bidang Ekonomi
Dengan dikuasainya kepulauan hurmuz dan gumrun diubah menjadi Bandar Abbas, maka salah satu jalur dagang laut antara timur barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Syafawi. Di sektor pertanian juga mengalami kemajuan terutama di daerah Bulan Babit Subur atau Fortile Crescent.
2.      Bidang Ilmu Pengetahuan
Sejarah Islam bangsa Persia dikenal bangsa berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Beberapa ilmuan diantaranya Bahauddin al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Syadaruddin al-Syaerazi, filosuf dan Muhammad Bakir dan Muhammad Damad, filosuf, teolog, dan orang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
3.      Bidang Pembangunan fisik dan Seni
Berdirinya bangunan-bangunan besar dan indah, seperti masjid-masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Dalam bidang seni nampak pada gaya arsitektur bangunan-bangunannya seperti Masjid Syah (1611 M) dan Masjid Syeikh Luth Allah (1603 M). Unsur seni lain seperti kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda-benda seni lainnya. Seni lukis dirintis pada tahmashp I. raja Isma’il I (1522) membawa seorang pelukis bernama  Bizhad ke Tabriz.[10]

C.  Perkembangan Keagamaan Dinasti Syafawi
Dinasti Syafawiyah, dalam menciptakan sebuah upaya pemantapan keagamaan yang diharapkan dapat menyokong  otoritasnya dan menciptakan langkah-langkah administrasi untuk mendukung rezim baru. Syah Ismail mengklaim sebagai menifestasi Tuhan, Cahaya ketuhanan dari sang Imam yang tersembunyi dan sebagai Al-Mahdi, ia menggelari dirinya “bayangan Tuhan di muka bumi” sebagaimana halnya para kaisar Persia pada umumnya.[11]
Untuk memperkokoh otoritasnya, Syafawiyah berusaha memantapkan Syi’isme di Iran. Syi’ah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Ini dilakukan dalam rangka memperluas dukungan dan mengkonsolidasikan otoritas para Syah. Syi’ah Itsna Asy’ariyah dirumuskan dalam bentuk Syi’isme yang lebih terlembagakan. Untuk memperkuat “dakwah” syi’isme di Iran, Ismail I mendatangkan beberapa Ulama’ Syi’ah Itsna Asyariyah dari Syiria, Bahrain, Arabia Utara dan Iraq. Ali al-Karakhi (1465-1534) mendirikan madrasah syi’ah yang pertama di Iran. Pada periode-periode awal, otoritas sang Syah terhadap kegiatan keagamaan benar-benar dominan. Beberapa ritual keagamaan terbentuk dari Syi’isme Iran.  Pemujaan terhadap tokoh-tokoh suci Syi’ah merupakan salah satu contohnya. Tempat keramat seperti Masyhad dan Qum direhab pada masa pemerintahan Abbas I. Perayaan di bulan Muharram merupakan agenda penting dalam pemerintahan Syafawiyah. Pembacaan kitab Hussein yang sangat memilukan hati, arak-arakan massa, pertunjukan, pidato dan pembacaan syair-syair ratapan melambangkan masa berkabung dan merupakan ungkapan rasa bersalah mereka atas kematian Hussein.[12]
Selain sikap, kecenderungan alami dalam suku-suku ini, kekhasan utama mereka yang menunjukkan adalah semangat agamanya. Mereka mempraktekkan agama rakyat yang ekstrem dan sangat diwarnai dengan sinkretisme yang merupakan hal lazim untuk konteks Anatolia dan Kaukasud pada masa itu. Dalam lingkungan inilah, kaum Turki pra-Islam yang beragama Kristen dan berbagai kultus Muslim, membentuk campuran yang rumit, dan hampir semua ungkapan agama lokal pada masa itupun menjadi terwarnai oleh tema syi’ah tentang kesetiaan kepada Imam Ali dan keluarganya.[13]

BAB III
PENUTUP

            Dari pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa, Dinasti Safawiyah berasal dari sebuah tarekat yang didirikan oleh Safi’ al-Din. Tarekat ini memperluas geraknya dalam bidang politik. Tarekat ini berubah menjadi Dinasti pada masa Ismail I. Dinasti ini berkuasa di Iran selama 285 tahun dengan Syi’ah sebagai agama resmi Negara. Puncak kejayaan Dinasti Safawiyah terjadi pada masa Abbas I, ia dapat menguasai kepulauan Hurmuz dan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Untuk memantapkan kekuasaannya. Setelah pemerintahan Abbas Dinasti Safawiyah mengalami kemunduran karena adanya konflik internal maupun eksternal. Dinasti ini juga banyak meninggalkan peninggalan masih bisa di pakai sampai sekarang seperti rumah sakit, masjid, pelabuhan Bandar Abbas dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA
Bosworth. Dinasti-Dinasti Islam . bandung: Mizan, 1993.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam jilid II. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Maryam, Siti, dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi, 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Murodi,dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra,1994.
 Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan,2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.


[1] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 359.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 138. 
[3] Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 194.
[4] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 18-19.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 141.
[6] C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas hasan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 197.
[7] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 141.
[8] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 19-21.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 158-159.
[10] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 21-22.
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Jilid I dan II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 455-456.

[12] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2004), hlm. 286-287.
[13] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 160.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar