DINASTI SAFAWIYAH DI
PERSIA(1501-1732)
BAB I
PENDAHULUAN
Wilayah
Persia (Iran) adalah merupakan daerah yang memiliki tingkat peradaban begitu
tinggi, bahkan sebelum datangnya agama Islam. Pada perkembangan selanjutnya
setelah kedatangan Islam di Persia terdapat beberapa dinasti Wilayah Persia
(Iran) adalah merupakan daerah yang memiliki tingkat peradaban begitu tinggi,
bahkan sebelum datangnya agama Islam. kecil yang berkuasa diantaranya Baduspaniyah,
Bawandiyah, Musafiriyah, Rawandiyah, Syaddadiyah, Thahiriyah, Samaniyah, Buwaihiyah,
saljuk, timuriyah dan seterusnya. Setelah runtuhnya dinasti Timuriyah, Dinasti
Syafawi berdiri, yang pada perkembangannya melakukan perubahan yang luar biasa
berkaitan dengan Negara dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul
Dinasti Syafawi
Dinasti
Syafawi merupakan sebuah dinasti yang berkuasa di Persia sejak
907-1145/1501-1732.[1]
Kerajaan Syafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Syafawiyah,
didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani.
Nama Syafawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan
nama Syafawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan
politik.[2]
Safiuddin
berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Ia adalah keturunan Musa al-Kazim (Imam ke tujuh Syi’ah Dua Belas),
yang berarti keturunan Rasulullah SAW dari Fatimah. [3]
Gurunya yang bernama Syeikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1215-1301 M) yang dikenal
dengan julukan Zahid al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunan Syafiuddin dalam
kehidupan tasawuf, ia diambil menantu oleh gurunya. Kemudian dia sendiri
mendirikan tarekat Syafawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Para pengikut tarekat ini sangat fanatik dan
berpegang teguh ajaran agama. Sehingga pada perjalanan masa berikutnya, para
pengikut ini merupakan kekuatan yang sangat potensial ketika tarekat Syafawiyah
memasuki dunia politik pada masa pemerintahan Juneid (1447-1460 M).[4]
B.
Para
Penguasa dan Perkembangan Peradaban Dinasti Syafawi
Demikian
halnya dengan gerakan tarekat Syafawiyah. Setelah berhasil menyebarkan
pengaruhnya di berbagai wilayah, mereka mulai mengatur kekuasaan. Kecenderungan
untuk memasuki dunia politik mulai tampak wujud
konkritnya pada waktu gerakan tarekat tersebut di pimpin oleh juneid
(1447-1460).[5]
Propaganda yang gencar dilakukan oleh para penerusnya dalam upaya mengembangkan
kekuasaan di sekitar Anatolia, yang pada masa itu di bawah kekuasaan Qara
Qanyulu dan Aq Qanyulu, dua diantara suku kuat Turki. Pada tahun 1501 Isma’il
Ibnu Haidar (kemudian disebut Isma’il I)
berhasil merebut Azerbaijan.[6]Isma’il
I inilah yang kemudian dianggap sebagai penguasa pertama dinasti syafawiyah. Ia
memerintah selama 23 tahun (1501-1524). Pada sepuluh tahun pertama masa
pemerintahannya, ia berhasil mengembangkan sayap kekuasaannya hingga meliputi
seluruh Persia. [7]
Kepemimpinan
gerakan syafawi ketika berada di bawah Isma’il dalam segi militer mengalami
kemajuan. Ia menjadikan Gilan sebagai pusat kegiatan. Ia mempersiapkan kekuatan
dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria dan
Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu disebut Qizilbash (pasukan baret
merah). Pada tahun 1501 M ia dengan pasukan baret merahnya mengadakan serangan
terhadap Aq qanyulu di Sharur dekat Nakhchivan. Kemudian ia meneruskan
penaklukannya ke Tabriz dan dapat menduduki ibu kota aq Qanyulu. Di kota inilah
Isma’il memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama kerajaan Syafawi.
Sepeninggal isma’il I, kekuasaan kerajaan syafawi menjadi lemah. Ini disebabkan
karena Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M) dan Muhammad
Khudabanda (1577-1578 M) adalah penguasa yang lemah. Mereka tak mampu bersaing
dengan kekuatan militer dan kekuasaan Turki Usmani. Kondisi memprihatinkan ini
baru teratasi pada masa Abbas I, raja kelima dari kerajaan syafawi, abbas I ini
memerintah dari tahun 1588-1628 M. Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak
kejayaan kerajaan Syafawi. Secara politis ia mampu mengatasi berbagai kemelut
di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali
wilayah-wilayah yang pernah direbut kerajaan lain pada masa raja-raja
sebelumnya. [8]
Diantara
sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan syafawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan
Usmani, dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Syafawi,
pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat
perang yang tinggi seperti Qizilbash, dan seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.[9]
Kemajuan yang dicapai kerajaan Syafawi yaitu:
1. Bidang
Ekonomi
Dengan
dikuasainya kepulauan hurmuz dan gumrun diubah menjadi Bandar Abbas, maka salah
satu jalur dagang laut antara timur barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda,
Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Syafawi. Di sektor
pertanian juga mengalami kemajuan terutama di daerah Bulan Babit Subur atau
Fortile Crescent.
2. Bidang
Ilmu Pengetahuan
Sejarah
Islam bangsa Persia dikenal bangsa berperadaban tinggi dan berjasa dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Beberapa ilmuan diantaranya Bahauddin al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan,
Syadaruddin al-Syaerazi, filosuf dan Muhammad Bakir dan Muhammad Damad,
filosuf, teolog, dan orang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan
lebah-lebah.
3. Bidang
Pembangunan fisik dan Seni
Berdirinya
bangunan-bangunan besar dan indah, seperti masjid-masjid, rumah sakit,
sekolah-sekolah, jembatan raksasa Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Ketika Abbas
I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273
pemandian umum. Dalam bidang seni nampak pada gaya arsitektur
bangunan-bangunannya seperti Masjid Syah (1611 M) dan Masjid Syeikh Luth Allah
(1603 M). Unsur seni lain seperti kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani,
pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda-benda seni lainnya. Seni lukis
dirintis pada tahmashp I. raja Isma’il I (1522) membawa seorang pelukis
bernama Bizhad ke Tabriz.[10]
C. Perkembangan
Keagamaan Dinasti Syafawi
Dinasti
Syafawiyah, dalam menciptakan sebuah upaya pemantapan keagamaan yang diharapkan
dapat menyokong otoritasnya dan
menciptakan langkah-langkah administrasi untuk mendukung rezim baru. Syah
Ismail mengklaim sebagai menifestasi Tuhan, Cahaya ketuhanan dari sang Imam
yang tersembunyi dan sebagai Al-Mahdi, ia menggelari dirinya “bayangan Tuhan di
muka bumi” sebagaimana halnya para kaisar Persia pada umumnya.[11]
Untuk
memperkokoh otoritasnya, Syafawiyah berusaha memantapkan Syi’isme di Iran. Syi’ah
dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Ini dilakukan dalam rangka memperluas
dukungan dan mengkonsolidasikan otoritas para Syah. Syi’ah Itsna Asy’ariyah
dirumuskan dalam bentuk Syi’isme yang lebih terlembagakan. Untuk memperkuat
“dakwah” syi’isme di Iran, Ismail I mendatangkan beberapa Ulama’ Syi’ah Itsna
Asyariyah dari Syiria, Bahrain, Arabia Utara dan Iraq. Ali al-Karakhi
(1465-1534) mendirikan madrasah syi’ah yang pertama di Iran. Pada
periode-periode awal, otoritas sang Syah terhadap kegiatan keagamaan
benar-benar dominan. Beberapa ritual keagamaan terbentuk dari Syi’isme
Iran. Pemujaan terhadap tokoh-tokoh suci
Syi’ah merupakan salah satu contohnya. Tempat keramat seperti Masyhad dan Qum
direhab pada masa pemerintahan Abbas I. Perayaan di bulan Muharram merupakan
agenda penting dalam pemerintahan Syafawiyah. Pembacaan kitab Hussein yang
sangat memilukan hati, arak-arakan massa, pertunjukan, pidato dan pembacaan
syair-syair ratapan melambangkan masa berkabung dan merupakan ungkapan rasa
bersalah mereka atas kematian Hussein.[12]
Selain
sikap, kecenderungan alami dalam suku-suku ini, kekhasan utama mereka yang
menunjukkan adalah semangat agamanya. Mereka mempraktekkan agama rakyat yang
ekstrem dan sangat diwarnai dengan sinkretisme yang merupakan hal lazim untuk
konteks Anatolia dan Kaukasud pada masa itu. Dalam lingkungan inilah, kaum
Turki pra-Islam yang beragama Kristen dan berbagai kultus Muslim, membentuk
campuran yang rumit, dan hampir semua ungkapan agama lokal pada masa itupun
menjadi terwarnai oleh tema syi’ah tentang kesetiaan kepada Imam Ali dan
keluarganya.[13]
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa, Dinasti Safawiyah
berasal dari sebuah tarekat yang didirikan oleh Safi’ al-Din. Tarekat ini
memperluas geraknya dalam bidang politik. Tarekat ini berubah menjadi Dinasti
pada masa Ismail I. Dinasti ini berkuasa di Iran selama 285 tahun dengan Syi’ah
sebagai agama resmi Negara. Puncak kejayaan Dinasti Safawiyah terjadi pada masa
Abbas I, ia dapat menguasai kepulauan Hurmuz dan Gumrun diubah menjadi Bandar
Abbas. Untuk memantapkan kekuasaannya. Setelah pemerintahan Abbas Dinasti
Safawiyah mengalami kemunduran karena adanya konflik internal maupun eksternal.
Dinasti ini juga banyak meninggalkan peninggalan masih bisa di pakai sampai
sekarang seperti rumah sakit, masjid, pelabuhan Bandar Abbas dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bosworth.
Dinasti-Dinasti
Islam . bandung: Mizan, 1993.
Lapidus,
Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam jilid II. Jakarta: Rajawali Press,
1999.
Maryam,
Siti, dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern.
Yogyakarta: Lesfi, 2004.
Yatim,
Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Murodi,dkk.
Sejarah
Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra,1994.
Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam
Modern. Bandung: Mizan,2002.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
[1] Cyril Glasse, Ensiklopedi
Islam (Ringkas), (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 359.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
138.
[3] Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm.
194.
[4] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan
Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 18-19.
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 141.
[6] C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti
Islam, terj. Ilyas hasan
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 197.
[7] Badri Yatim , Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada,
2008), hlm. 141.
[8] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan
Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 19-21.
[9] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008),
hlm. 158-159.
[10] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan
Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 21-22.
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Ummat Islam Jilid I dan II,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 455-456.
[12] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban
Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2004), hlm.
286-287.
[13] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 160.