Jumat, 04 November 2011

Dinasty Safawiyah

DINASTI SAFAWIYAH DI PERSIA(1501-1732)
BAB I
PENDAHULUAN
Wilayah Persia (Iran) adalah merupakan daerah yang memiliki tingkat peradaban begitu tinggi, bahkan sebelum datangnya agama Islam. Pada perkembangan selanjutnya setelah kedatangan Islam di Persia terdapat beberapa dinasti Wilayah Persia (Iran) adalah merupakan daerah yang memiliki tingkat peradaban begitu tinggi, bahkan sebelum datangnya agama Islam. kecil yang berkuasa diantaranya Baduspaniyah, Bawandiyah, Musafiriyah, Rawandiyah, Syaddadiyah, Thahiriyah, Samaniyah, Buwaihiyah, saljuk, timuriyah dan seterusnya. Setelah runtuhnya dinasti Timuriyah, Dinasti Syafawi berdiri, yang pada perkembangannya melakukan perubahan yang luar biasa berkaitan dengan Negara dan agama.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Asal-Usul Dinasti Syafawi
Dinasti Syafawi merupakan sebuah dinasti yang berkuasa di Persia sejak 907-1145/1501-1732.[1] Kerajaan Syafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Syafawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Syafawiyah, diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Syafawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.[2]
Safiuddin berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia adalah keturunan Musa al-Kazim (Imam ke tujuh Syi’ah Dua Belas), yang berarti keturunan Rasulullah SAW dari Fatimah. [3] Gurunya yang bernama Syeikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1215-1301 M) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani. Karena prestasi dan ketekunan Syafiuddin dalam kehidupan tasawuf, ia diambil menantu oleh gurunya. Kemudian dia sendiri mendirikan tarekat Syafawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Para pengikut tarekat ini sangat fanatik dan berpegang teguh ajaran agama. Sehingga pada perjalanan masa berikutnya, para pengikut ini merupakan kekuatan yang sangat potensial ketika tarekat Syafawiyah memasuki dunia politik pada masa pemerintahan Juneid (1447-1460 M).[4]

B.   Para Penguasa dan Perkembangan Peradaban Dinasti Syafawi
Demikian halnya dengan gerakan tarekat Syafawiyah. Setelah berhasil menyebarkan pengaruhnya di berbagai wilayah, mereka mulai mengatur kekuasaan. Kecenderungan untuk memasuki dunia politik mulai tampak wujud  konkritnya pada waktu gerakan tarekat tersebut di pimpin oleh juneid (1447-1460).[5] Propaganda yang gencar dilakukan oleh para penerusnya dalam upaya mengembangkan kekuasaan di sekitar Anatolia, yang pada masa itu di bawah kekuasaan Qara Qanyulu dan Aq Qanyulu, dua diantara suku kuat Turki. Pada tahun 1501 Isma’il Ibnu Haidar (kemudian disebut Isma’il I)  berhasil merebut Azerbaijan.[6]Isma’il I inilah yang kemudian dianggap sebagai penguasa pertama dinasti syafawiyah. Ia memerintah selama 23 tahun (1501-1524). Pada sepuluh tahun pertama masa pemerintahannya, ia berhasil mengembangkan sayap kekuasaannya hingga meliputi seluruh Persia. [7]
Kepemimpinan gerakan syafawi ketika berada di bawah Isma’il dalam segi militer mengalami kemajuan. Ia menjadikan Gilan sebagai pusat kegiatan. Ia mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu disebut Qizilbash (pasukan baret merah). Pada tahun 1501 M ia dengan pasukan baret merahnya mengadakan serangan terhadap Aq qanyulu di Sharur dekat Nakhchivan. Kemudian ia meneruskan penaklukannya ke Tabriz dan dapat menduduki ibu kota aq Qanyulu. Di kota inilah Isma’il memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama kerajaan Syafawi. Sepeninggal isma’il I, kekuasaan kerajaan syafawi menjadi lemah. Ini disebabkan karena Tahmasp I (1524-1576 M), Isma’il II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1578 M) adalah penguasa yang lemah. Mereka tak mampu bersaing dengan kekuatan militer dan kekuasaan Turki Usmani. Kondisi memprihatinkan ini baru teratasi pada masa Abbas I, raja kelima dari kerajaan syafawi, abbas I ini memerintah dari tahun 1588-1628 M. Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Syafawi. Secara politis ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya. [8]
Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan syafawi ialah  konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani, dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Syafawi, pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash, dan seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.[9]
Kemajuan yang dicapai kerajaan Syafawi yaitu:
1.      Bidang Ekonomi
Dengan dikuasainya kepulauan hurmuz dan gumrun diubah menjadi Bandar Abbas, maka salah satu jalur dagang laut antara timur barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Syafawi. Di sektor pertanian juga mengalami kemajuan terutama di daerah Bulan Babit Subur atau Fortile Crescent.
2.      Bidang Ilmu Pengetahuan
Sejarah Islam bangsa Persia dikenal bangsa berperadaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tradisi keilmuan ini terus berlanjut. Beberapa ilmuan diantaranya Bahauddin al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Syadaruddin al-Syaerazi, filosuf dan Muhammad Bakir dan Muhammad Damad, filosuf, teolog, dan orang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
3.      Bidang Pembangunan fisik dan Seni
Berdirinya bangunan-bangunan besar dan indah, seperti masjid-masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa Zende Rud, dan istana Chihil Sutun. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Dalam bidang seni nampak pada gaya arsitektur bangunan-bangunannya seperti Masjid Syah (1611 M) dan Masjid Syeikh Luth Allah (1603 M). Unsur seni lain seperti kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda-benda seni lainnya. Seni lukis dirintis pada tahmashp I. raja Isma’il I (1522) membawa seorang pelukis bernama  Bizhad ke Tabriz.[10]

C.  Perkembangan Keagamaan Dinasti Syafawi
Dinasti Syafawiyah, dalam menciptakan sebuah upaya pemantapan keagamaan yang diharapkan dapat menyokong  otoritasnya dan menciptakan langkah-langkah administrasi untuk mendukung rezim baru. Syah Ismail mengklaim sebagai menifestasi Tuhan, Cahaya ketuhanan dari sang Imam yang tersembunyi dan sebagai Al-Mahdi, ia menggelari dirinya “bayangan Tuhan di muka bumi” sebagaimana halnya para kaisar Persia pada umumnya.[11]
Untuk memperkokoh otoritasnya, Syafawiyah berusaha memantapkan Syi’isme di Iran. Syi’ah dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Ini dilakukan dalam rangka memperluas dukungan dan mengkonsolidasikan otoritas para Syah. Syi’ah Itsna Asy’ariyah dirumuskan dalam bentuk Syi’isme yang lebih terlembagakan. Untuk memperkuat “dakwah” syi’isme di Iran, Ismail I mendatangkan beberapa Ulama’ Syi’ah Itsna Asyariyah dari Syiria, Bahrain, Arabia Utara dan Iraq. Ali al-Karakhi (1465-1534) mendirikan madrasah syi’ah yang pertama di Iran. Pada periode-periode awal, otoritas sang Syah terhadap kegiatan keagamaan benar-benar dominan. Beberapa ritual keagamaan terbentuk dari Syi’isme Iran.  Pemujaan terhadap tokoh-tokoh suci Syi’ah merupakan salah satu contohnya. Tempat keramat seperti Masyhad dan Qum direhab pada masa pemerintahan Abbas I. Perayaan di bulan Muharram merupakan agenda penting dalam pemerintahan Syafawiyah. Pembacaan kitab Hussein yang sangat memilukan hati, arak-arakan massa, pertunjukan, pidato dan pembacaan syair-syair ratapan melambangkan masa berkabung dan merupakan ungkapan rasa bersalah mereka atas kematian Hussein.[12]
Selain sikap, kecenderungan alami dalam suku-suku ini, kekhasan utama mereka yang menunjukkan adalah semangat agamanya. Mereka mempraktekkan agama rakyat yang ekstrem dan sangat diwarnai dengan sinkretisme yang merupakan hal lazim untuk konteks Anatolia dan Kaukasud pada masa itu. Dalam lingkungan inilah, kaum Turki pra-Islam yang beragama Kristen dan berbagai kultus Muslim, membentuk campuran yang rumit, dan hampir semua ungkapan agama lokal pada masa itupun menjadi terwarnai oleh tema syi’ah tentang kesetiaan kepada Imam Ali dan keluarganya.[13]

BAB III
PENUTUP

            Dari pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa, Dinasti Safawiyah berasal dari sebuah tarekat yang didirikan oleh Safi’ al-Din. Tarekat ini memperluas geraknya dalam bidang politik. Tarekat ini berubah menjadi Dinasti pada masa Ismail I. Dinasti ini berkuasa di Iran selama 285 tahun dengan Syi’ah sebagai agama resmi Negara. Puncak kejayaan Dinasti Safawiyah terjadi pada masa Abbas I, ia dapat menguasai kepulauan Hurmuz dan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Untuk memantapkan kekuasaannya. Setelah pemerintahan Abbas Dinasti Safawiyah mengalami kemunduran karena adanya konflik internal maupun eksternal. Dinasti ini juga banyak meninggalkan peninggalan masih bisa di pakai sampai sekarang seperti rumah sakit, masjid, pelabuhan Bandar Abbas dan lain-lain.




DAFTAR PUSTAKA
Bosworth. Dinasti-Dinasti Islam . bandung: Mizan, 1993.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam jilid II. Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Maryam, Siti, dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi, 2004.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Murodi,dkk. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra,1994.
 Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan,2002.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.


[1] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 359.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 138. 
[3] Dewan redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 194.
[4] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 18-19.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 141.
[6] C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas hasan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 197.
[7] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 141.
[8] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 19-21.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008), hlm. 158-159.
[10] Murodi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994), hlm. 21-22.
[11] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Jilid I dan II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 455-456.

[12] Siti Maryam, dkk, sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Lesfi, 2004), hlm. 286-287.
[13] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 160.

Republik Turki

 

REPUBLIK TURKI

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah    : Sejarah Islam di Turki
Dosen Pengampu        : Drs. H. Mundzirin Yusuf




Disusun oleh:

Anik Wijayanti            08120024


JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2009





BAB I
PENDAHULUAN
            Peradaban Islam dengan pengaruh Arab dan Persia menjadi warisan yang mendalam bagi masyarakat Turki sebagai peninggalan Dinasti Usmani. Kekhalifahan Turki dengan membawa peradaban dua bangsa tersebut. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan pengaruh yang kuat kedua peradaban tersebut ke dalam kebudayaan bangsa Turki. Kondisi ini menimbulkan kekeliruan pada masyarakat awam yang sering menganggap bahwa bangsa Turki sama dengan bangsa Arab. Suatu anggapan yang keliru yang selalu ingin diluruskan oleh bangsa Turki sejak tumbuhnya nasionalisme pada abad ke-19. Selanjutnya arah modernisasi yang berkiblat ke Barat telah menyerap unsur-unsur budaya Barat yang dianggap modern. Campuran peradaban Turki, Islam dan Barat, inilah yang telah mewarnai identitas masyarakat Turki.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Latar Belakang Berdirinya Republik Turki
Nasionalisme Turki ingin men-Turki-kan segalanya. Halini menimbulkan persaingan bagi kelompok lain yang bukan Turki, seperti nasionalisme Arab dan Nasrani. Kelompok nasionalis ditekan oleh Sultan Absul Hamid II yang berpendirian pan-islamis. Untuk selanjutnya, nasionalisme Turki berkembang menjadi rasialis dengan Usmanisme, kemudian pan-turkisme dan turanisme. Diantara tokoh-tokoh aliran nasionalisme Turki ialah Ziya Gokalp, Halide Edib, Mansurizade Said, dan Mustafa Kemal Pasha. Kalau Ziya, Halide, dan Mansurizade adalah pemikir dan pencetus ide nasionalisme, maka Mustafa Kemal merupakan pelaksana pemikiran yang dituangkan oleh pendahulunya. [1]
Revolusi di Turki digagas oleh gerakan Turki Muda dalam suatu kongres yang diadakan di Paris tahun 1907 M. Revolusi ini bertujuan mencari jalan untuk mengulingkan kekuasaan absolut Sultan Abdul Hamid II dan membentuk pemerintahan konstitusional yang baru, yang menghasilkan kesepakatan Ittihad ve Terekki sebagai pelaksana revolusi.[2] Pada masa Perang Dunia I, Mustafa Kemal Ataturk diserahi tugas memimpin Divisi 19 yang berhasil dalam pertempuran. Pangkatnya naik dari kolonel menjadi jenderal, ditambah dengan gelar pasya.[3] Ia menolak perintah kembali ke Istanbul dan memusatkan perhatiannya pada finalisasi progam perjuangan nasional bersama Kazim Karabekir, Ali Fuad Pasha, dan Husein Rauf. Sebuah delegasi pada tanggal 23 Juli-19 Agustus 1919 di Erzerum, menghasilkan resolusi yang antara lain menyatakan tuntutan atas kemerdekaan dan terciptanya persatuan bagi rakyat Turki yang bersatu dalam agama, ras, dan tujuan. Resolusi yang sudah diformulasikan dalam bentuk progam enam pasal yang dinamakan Misaki-Milli (Pakta Nasional), yang disahkan oleh Parlemen pada bulan Febuari 1920.[4]
Mustafa Kemal Ataturk diangkat sebagai ketua Perkumpulan Pembela Hak Rakyat cabang Erzurum dalam kongresnya yang pertama kali diadakan di kota tersebut. Kongres kedua diselenggarakan di Sivas, yang memutuskan bahwa Turki harus merdeka, dan dibentuklah Komite Perwakilan Rakyat yang diketuai oleh Mustafa Kemal. Sementara itu di Istanbul dilaksanakan pemilihan anggota parlemen yang hasilnya didominasi oleh kaum nasionalis. Namun parlemen tidak dapat nekerja karena intervensi sekutu, sehingga sidang terunda hingga waktu yang tidak terbatas. Ini menyebabkan banyak anggotanya bergabung ke golongan nasionalis di Anatolia yang dipimpin oleh Mustafa Kemal, yang membentuk Majelis Nasional Agung pada 1920. Mustafa Kemal dipilih sebagai ketua majelis itu dalam sidangnya di Ankara yang memutuskan hal sebagai berikut, kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, Majelis Nasional Agung adalah perwakilan rakyat tertinggi, lembaga legislative dan eksekutif, Majelis Negara yang beranggotakan dari Majelis Nasional Agung akan menjalankan tugas pemerintahan, dan ketua Majelis Nasional Agung merangkap ketua Majelis Negara. Kelompok Mustafa Kemal menguasai keadaan dan akhirnya sekutu mengakuinya sebagai penguasa Turki, baik de facto maupun de jure. Pemerintahannya diakui secara internasional melalui Perjanjian Lausanne pada 23 Juli 1923.[5]
Perundingan di Lausanne merupakan kemenangan Turki atas Eropa. Majelis Nasional Agung menganugerahkan gelar Al-Ghazi (pemenang) dan pangkat Marsekal kepada Mustafa Kemal atas kepahlawanannya dalam pertempuran di Sungai Sakarya.[6]

  1. Berdirinya Republik Turki
Kemenangan yang diperoleh oleh Turki dalam perjanjian Lausanne membuat Negara ini mulai membangun negeri mereka yang telah berantakan itu. Kesultanan dihapuskan dalam tahun 1341 (1922 M ) dan jabatan Khalifah, yang dianggap terkandung dalam pemerintahan Republik Turki itu, dihapuskan dua tahun kemudian. Dari puing-puing Kemahatajaan Usmani muncullah sebuah Negara baru yang dinamis yaitu Republik Turki.[7] Dengan penghapusan jabatan sultan, dualisme kepemimpinan duniawi sudah tidak ada lagi. Kedaulatan berada di tangan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan eksekutif berada dibawah Majelis Negara. Republik Turki dibentuk secara resmi pada tanggal 29 Oktober 1923 dengan Presiden pertama Mustafa Kemal yang dipilih oleh Majelis Nasional Agung dengan ibukota di Ankara. Mustafa Kemal diberi gelar Bapak Turki atau Ataturk, karena jasanya terutama dalam perang kemerdekaan 1919-1923.
Kekhalifahan dihapuskan pada tanggal 3 Maret 1924, setelah Kemal menyampaikan pidato pada pembukaan masa sidang Majelis dua hari sebelumnya. Pidato tersebut menekankan pada usaha penjagaan stabilitas republic, diciptakannya system pendidikan nasional yang seragam dan keharusan untuk membersihkan dan meningkatkan iman Islam, dengan membebaskannya sebagai alat politik.[8] Dengan demikian, dualisme kepemimpinan di Turki dapat dteratasi. Hanya tinggal satu penguasa, yakni Presiden Republik Turki Mustafa Kemal Pasya Ataturk. Dengan demikian berakhirlah riwayat Kerajaan Usmani yang telah berdiri kurang lebih selama 625 tahun.[9]

  1. Pembaruan Kemalis
Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme, modernisme dan nasionalisme. Meskipun demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang pertama kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki. Gagasan sekularisme Mustafa Kemal banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya Gokalp, seorang sosiolog Turki yang diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki. Pemikiran Ziya Gokalp adalah sintesa antara tiga unsur yang membentuk karakter bangsa Turki, yaitu ke-Turki-an, Islam dan Modernisasi.[10] Pembaruan Kemalis berusaha untuk menciptakan bentuk Islam individualistik modern. Pembaruan Kemalis dilaksanakan diatas enam prinsip dasar yang menjadi filsafat politik dan dasar Republik Turki yaitu Republikanisme, Nasionalisme, Populisme, Etatisme, Sekularisme, Revolusionisme. Keenam prinsip tersebut yang paling menonjol yaitu sekularisme, ia merupakan pahan ( ideologi) yang memisahkan antara persoalan agama dam nonagama (publik dan sipil).
Pada tahun 1925 beberapa thariqat Sufi dinyatakan sebagai organisasi terlarang (illegal) dan dihancurkan. Pada tahun 1927 pemakaian turbus dilarang, tahun 1928 diberlakukan tulisan latin menggantikan tulisan Arab, dan mulai dilancarkan upaya memurnikan bahasa Turki dari muatan bahasa Arab dan Persia. Pada tahun 1935 seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana yang berlaku dengan pola nama Barat.[11] Amandemen konstitusi tahun 1934 memberi hak suara kepada perempuan dan segera setelahnya banyak anggota Majelis dari perempuan.[12] Pada tahun 1935 beberapa perwakilan wanita terpilih dalam parlemen Turki. Perubahan dalam hal sikap dan prinsip hokum menjadi basis utama bagi pengembagan partisipasi wanita didalam kehidupan punlik nangsa Turki.[13] Di bidang ekonomi, pemerintahan Kemal berhasi mengatasi deficit anggaran Negara melalui pembaruan sistem perpajakan dan membuat aturan keuangan publik secara tradisional menjadi sumber kelemahan Turki.  
Mustafa Kemal meninggal dunia pada tanggal 10 November 1938 di Istana Dolmabahce, Istanbul. Ia terserang penyakit cyrrhosis liver yang parah karena kebiasaannya minum alkohol selama bertahun-tahun. Jenazahnya disimpan di Museum Etnografi Nakara hingga tahun 1953, lalu dipindahkan ke Mausoleumnya.[14]

  1. Turki Pasca Kemalisme
Setelah Mustafa meninggal, rezimnya dilanjutkan oleh seorang koleganya yang sangat setia kepadanya, Ismet Inonu. Namun periode antara kematian Kemal dan akhir masa pemerintahan Inoni membuka jalan bagi sebuah didtem politik yang baru. Amerika Serikat, setelah Perang Dunia II menjadi penjaga utama pengamanan politik dan pembangunan ekonomi Turki, juga berusaha mengurangi system paternalistic dan cenderung kepada system demokrasi multi-partai. Oleh karena itu, pada tahun 1946, pemerintahan Inonu mengizinkan pembentukan Democrat Party ( Partai Demokrat).[15] Pada tanggal 24 Oktober 1945 Turki menandatangani Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai salah satu dari lima puluh anggota asli. Pada 1946, pemerintah İnönü menyelenggarakan pemilu multi-partai, yang dimenangkan oleh partainya. Ia tetap sebagai presiden negara itu hingga 1950. Dia masih dikenang sebagai salah satu tokoh utama Turki.[16]
Pada pemilu 1950, kekuasaan tunggal Partai Republik Rakyat berakhir dan digantikan oleh partai sekuler beraliran liberal, yaitu Partai Demokrat. Partai pimpinan Adnan Menderes ini mencoba mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sekularisasi yang sudah dijalankan oleh Partai Republik Rakyat sejak berdirinya negara Turki. Untuk memberikan respon terhadap warga pedalaman yang mendukung rezim baru ini juga mengizinkan penyampaian pendidikan agama di sekolah-sekolah Turki, Masjid menerima kembali subsidi dari Negara. Namun, thariqat sufi tetap mendapatkan tekanan sementara badan-badan wakaf belum dibentuk kembali. Partai Demokrat cukup toleran terhadap dogma Kemalis bahwasanya hanya dengan sekularisasi masyarakat Turki dapat menjadi sebuah Negara modern. Partai ini cenderung kepada sikap yang toleran terhadap modernisasi ekonomi sekaligus juga toleran terhadap Islam.[17] Madrasah-madrasah ini kembali ditutup pada tahun 1998 setelah dianggap sebagai lembaga yang mendidik kelompok Islam fundamental yang keberadaannya menguat dan mengancam ideologi sekuler Turki.
Pada tahun 1960-an Turki kembali dilanda konflik multi-partai. Konflik ini tidak hanya dimunculkan oleh perkembangan ekonomi yang ganjil ini, tetapi juga karena meningkatnya differensiasi sosial dan ekonomi, dan meningkatnya kecenderungan kesadaran politik dan aktivisme. Partai Rakyat Republik dibawah kepemimpinan Ecevit tampil mewkili elite birokratik, intelektual dan elite teknikal di Negara ini, termasuk diantaranya kaum pekerja pabrik dan beberapa kelompok perkotaan lainnya. Partai Mustafa Kemal mempertahankan orientasi statisnya bahkan partai ini menjadi partai demokratik sosialis yang menghendaki sebuah pengabdian secara profesional dan perlindungan industrial. Pada Dakade 1970-an meneruskan intensifikasi konflik dekade 1960-an. Terbentuk sejumlah partai baru baik yang berhaluan kanan maupun kiri, pada akhir dekade ini kubu sayap kanan terlibat permusuhan terbuka dengan kubu berhaluan kiri.[18]


BAB III
PENUTUP

Republik Turki terbentuk melalui revolusi yang di pimpin oleh Mustafa Kemal Pasya pada tanggal 29 Oktober 1923 dengan memberlakukan sistem sekularismenya untuk memimpin Republik Turki. Pembaruan Mustafa Kemal diaksanakan atas enam prinsip yaitu republikanisme, populisme, etatisme, sekularisme, revolusionisme dan nasionalisme.  Keenam prinsip tersebut yang paling menonjol adalah sekularisme, paham sekularisme memandang bahwa campur tangan agama (Islam) dalam seuruh aspek kehidupan membawa kemunduran bagi kaum Muslim sendiri. Untuk itu, Mustafa menghapuskan kesultanan serta kekhalifahan dari Negara Republik Turki. Sepeninggal Mustafa pemerintahan masih berbentuk sekularis yang dipimpin oleh kolega Mustafa yaitu Ismet Inonu.


DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam “ Khalifah” jilid II. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Morgan, Kenneth W, Islam Jalan Lurus. Bandung: Pustaka Jaya, 1980.
Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: Lesfi, 2004.
Kumaidi, Sejarah Kebudayaan Islam. Sragen: CV Arifandani, 2007.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999.


[1] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam “Khalifah” jilid II (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 257-258.
[2] Drs Kumaidi, Sejarah Kebudayaan Islam ( Sragen: CV Arifandani, 2007 ), hlm.3.
[3] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam “Khalifah” jilid II, hlm. 260.
[4] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern ( Yogyakarta: Lesfi, 2004), hlm. 156-157.
[5] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam “Khalifah” jilid II, hlm. 260.
[6] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, hlm. 158.
[7] Kenneth W Morgan, Islam Jalan Lurus (Bandung: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 302.
[8] Mortimer, Islam dan Kekuasaan, dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,hlm. 160.
[9] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam “Khalifah” jilid II, hlm. 261.
[11] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian ketiga (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 91.
[12] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, hkm. 162.
[13] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian ketiga, hlm. 92.
[14] Drs Kumaidi, Sejarah Kebudayaan Islam, hlm. 5.
[15] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian ketiga,hlm. 92-93.
[17] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian ketiga,hlm. 94.
[18] Ira M Lapidus, ibid, hlm. 95-96.